Pengumuman Hasil Tes Wawancara KI Kaltara

Tuesday, January 15, 2019

Opini, Potret Keterbukaan Informasi di Kaltara




Opini, Potret Keterbukaan Informasi di Kaltara
oleh: Royan Thohuri, SE.
Bidang ASE, Komisi Informasi Kalimantan Utara


Praktik-praktik korupsi merupakan tindakan kriminal yang tidak saja memiskinkan rakyat tapi juga menjadi penyakit yang selalu mewabah seakan tak terhenti hingga menjadi penyakit yang membudaya. Belakangan ini, banyak terjadi tindak Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh KPK. Mereka yang terjaring dalam razia tersebut, rata-rata merupakan pejabat daerah yang tersangkut kasus suap.
Lemahnya informasi terhadap publik menjadi salah satu penyebab utama terjadi penyelewengan di negara kita, hingga berujung kepada kasus-kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kesadaran publik yang masih lemah tentunya juga akan berdampak lemahnya transparansi dan akuntabilitas.
Trias politika sepertinya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Para eksekutif, legislatif, bahkan yudikatif yang tidak pro rakyat bisa saja ‘’main mata’’ untuk memperoleh dana besar.
Paling tidak, ada beberapa undang-undang yang mengajak masyarakat untuk mendapatkan hak informasi. Dalam UUD 1945 pasal 28 F berbunyi, “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Kemudian Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), UU Nomor: 14/2008 yang menjadi penjabaran konkret atas pemenuhan hak atas informasi yang diamanatkan konstitusi dengan memberi kewajiban kepada badan publik sebagai pihak yang harus memenuhi hak atas informasi tersebut.
UU KIP memiliki tiga pemangku kepentingan (stake holder) yakni badan publik, masyarakat sebagai pemohon informasi dan Komisi Informasi.
Badan publik menurut UU KIP adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN/APBD atau organisasi non-pemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN/APBD, sumbangan masyarakat dan/atau luar negeri.
Untuk memenuhi hak atas informasi publik tersebut, menjadi kewajiban badan publik untuk melakukan setidaknya lima hal. Pertama, menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Kedua, menyusun daftar informasi publik. Ketiga, melakukan uji konsekuensi atas informasi yang dikecualikan. Keempat, membuat Standar Operasional Prosedur (SOP) pelayanan informasi. Kelima, mengalokasikan anggaran pelayanan informasi publik.
Dalam perjalanannya, UU KIP lebih banyak disosialisasikan kepada badan publik, sementara masyarakat sebagai pemohon informasi masih lepas dari pemahaman bahwa mereka punya hak memperoleh informasi setiap dana yang berasal dari APBN/APBD yang digunakan.
Bahkan dijelaskan UU KIP bahwa badan publik wajib memberikan informasi kepada pemohon informasi paling lambat 10 hari kerja.
Di Kalimantan Utara, perkembangan UU KIP sudah mulai kelihatan dengan telah terbentuknya Komisi Informasi Provinsi Kalimantan Utara.
UU KIP mewajibkan pembentukan Komisi Informasi di pusat dan di seluruh provinsi. Sementara di tingkat kabupaten/kota bisa dibentuk bila diperlukan, alias tidak wajib.
Dalam perjalanan UU KIP di Kaltara kebanyakan hak mendapatkan informasi dilakukan hanya oleh LSM dan Ormas , Itupun dalam mentranformasikan ke masyarakat sangat lemah, sehingga tidak terlihat animo masyarakat akan hak mendapatkan informasi publik.
Umumnya sengketa informasi di Kaltara lebih banyak kepada permasalahan hutan, lahan dan pertambangan, hal ini seperti yang disampaikan dalam Workshop Mendukung Keterbukaan Informasi Sektor Tata Kelola Hutan dan Lahan di Kalimantan Utara yang diselenggarakan oleh PLH Kaltara bersama Komisi Informasi Kaltara beberapa waktu yang lalu. Tujuan kegiatan tersebut untuk mendukung keterbukaan informasi sektor tata kelola hutan dan lahan di Kalimantan Utara Serta melaksanakan Konsolidasi dan koordinasi badan publik.
Komisi Informasi dan Kelompok Masyarakat Sipil siap mendorong transparansi badan publik di Kalimantan Utara dan juga mendorong replikasi praktek-praktek baik dalam membangun keterbukaan badan publik di Kalimantan Utara.
Beberapa Ormas dan LSM Penggiat Keterbukaan Informasi seperti LALING Kaltara, PLH Kaltara, JATAM Kaltara dan lain-lain sedikit banyak membantu masyarakat dalam memperoleh informasi publik sesuai ketentuan Undang-undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Selain itu, Komisi Informasi Kaltara juga terus mensosialisasikan terkait transparansi Dana Desa yang merupakan program unggulan pemerintah saat ini. Dalam Rapat Koordinasi Program Pembangunan Dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Provinsi Kalimantan Utara, dilaksanakan di Hotel Tarakan Plaza 15-18 Oktober 2018 yang dibuka oleh Gubernur Kalimantan Utara, Komisi Informasi Kalimantan Utara mendorong transparansi pemanfaatan Dana Desa sebagai wujud asas Transparansi, Akuntabilitas, Dan Partisipasi masyarakat. Termasuk saat ini sedang dirumuskan pula PERKI No.1 Tahun 2018 tentang Keterbukaan Informasi Desa.
Alokasi dana desa yang dikucurkan Pemerintah Pusat maupun dari APBD harus diumumkan secara transparan pada publik, khususnya warga desa setempat. Hal tersebut untuk menghindari terjadinya penyelewengan dana, kecurigaan publik, dan supaya pembangunan di desa dapat berlangsung secara kondusif.
Transparansi pengelolaan keuangan Dana Desa wajib dilakukan guna memastikan bahwa desa dapat dapat memenuhi prinsip akuntabilitas. Secara lebih spesifik, informasi publik diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Desa menjadi salah satu institusi publik yang turut menjadi aktor dalam UU KIP tersebut.
Kondisi Komisi Informasi Kaltara yang dilantik sejak Tanggal 16 Agustus 2018 belum dapat menjalankan roda kesekretariatannya dengan maksimal. Struktur Kepala Sekretariat dan Kepala urusan juga belum terbentuk, sementara kegiatan sosialisasi keterbukaan informasi harus tetap berjalan dan permohonan penyelesaian sengketa informasi sudah ada yang masuk dan teregistrasi.
Dalam hal Penyelesaian Sengkete Informasi tersebut, berdasarkan UU KIP Pasal 37 ayat (2) Proses penyelesaian sengketa paling lambat dapat diselesaikan dalam waktu 100 (seatus) hari kerja sejak masuknya pengajuan sengketa.
Paling tidak ada tiga hal kenapa Keterbukaan Informasi Publik ini masih lemah: Pertama, kebanyakan badan publik belum maksimal dalam mengimplementasikan UU KIP dengan tidak mempublikasikan informasi kepada publik.
Kedua, lemahnya dorongan pemohon informasi untuk mendapatkan informasi publik dari apapun yang diselenggarakan melalui dana APBN/APBD. Ketiga, perlunya perhatian khusus pemerintah untuk memberikan dukungan administratif, keuangan dan tata kelola Komisi Informasi dalam hal kesekretariatan dan kegiatan sosialisasi keterbukaan informasi publik.
Untuk itu, saatnya peranan lembaga independen seperti media, LSM dan Ormas (NGO) untuk mendorong hal tersebut agar kelak terciptanya transparansi dan akuntabilitas yang kuat.
Keterbukaan informasi publik akan menciptakan kekuatan baru yang lebih mendasar yaitu masyarakat sebagai controling dalam penyelenggaraan dana APBD/APBN yang kelak diharapkan memperkecil penyelewengan dalam penggunaannya.
Dengan demikian akan terwujud penyelenggaraan pemerintahan yang baik (Good Governance) menuju Provinsi Kaltara yang terdepan. (roy)

0 comments:

Post a Comment