Opini, Potret Keterbukaan Informasi di Kaltara
oleh: Royan Thohuri, SE.
Bidang ASE, Komisi Informasi Kalimantan Utara
Praktik-praktik korupsi merupakan tindakan kriminal yang tidak saja
memiskinkan rakyat tapi juga menjadi penyakit yang selalu mewabah seakan
tak terhenti hingga menjadi penyakit yang membudaya. Belakangan ini,
banyak terjadi tindak Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh
KPK. Mereka yang terjaring dalam razia tersebut, rata-rata merupakan
pejabat daerah yang tersangkut kasus suap.
Lemahnya informasi
terhadap publik menjadi salah satu penyebab utama terjadi penyelewengan
di negara kita, hingga berujung kepada kasus-kasus korupsi, kolusi, dan
nepotisme. Kesadaran publik yang masih lemah tentunya juga akan
berdampak lemahnya transparansi dan akuntabilitas.
Trias politika
sepertinya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Para eksekutif,
legislatif, bahkan yudikatif yang tidak pro rakyat bisa saja ‘’main
mata’’ untuk memperoleh dana besar.
Paling tidak, ada beberapa
undang-undang yang mengajak masyarakat untuk mendapatkan hak informasi.
Dalam UUD 1945 pasal 28 F berbunyi, “setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala
jenis saluran yang tersedia.”
Kemudian Undang-undang Keterbukaan
Informasi Publik (KIP), UU Nomor: 14/2008 yang menjadi penjabaran
konkret atas pemenuhan hak atas informasi yang diamanatkan konstitusi
dengan memberi kewajiban kepada badan publik sebagai pihak yang harus
memenuhi hak atas informasi tersebut.
UU KIP memiliki tiga
pemangku kepentingan (stake holder) yakni badan publik, masyarakat
sebagai pemohon informasi dan Komisi Informasi.
Badan publik
menurut UU KIP adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan badan
lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan
negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN/APBD atau
organisasi non-pemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya
bersumber dari APBN/APBD, sumbangan masyarakat dan/atau luar negeri.
Untuk memenuhi hak atas informasi publik tersebut, menjadi kewajiban
badan publik untuk melakukan setidaknya lima hal. Pertama, menunjuk
Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Kedua, menyusun
daftar informasi publik. Ketiga, melakukan uji konsekuensi atas
informasi yang dikecualikan. Keempat, membuat Standar Operasional
Prosedur (SOP) pelayanan informasi. Kelima, mengalokasikan anggaran
pelayanan informasi publik.
Dalam perjalanannya, UU KIP lebih
banyak disosialisasikan kepada badan publik, sementara masyarakat
sebagai pemohon informasi masih lepas dari pemahaman bahwa mereka punya
hak memperoleh informasi setiap dana yang berasal dari APBN/APBD yang
digunakan.
Bahkan dijelaskan UU KIP bahwa badan publik wajib memberikan informasi kepada pemohon informasi paling lambat 10 hari kerja.
Di Kalimantan Utara, perkembangan UU KIP sudah mulai kelihatan dengan
telah terbentuknya Komisi Informasi Provinsi Kalimantan Utara.
UU
KIP mewajibkan pembentukan Komisi Informasi di pusat dan di seluruh
provinsi. Sementara di tingkat kabupaten/kota bisa dibentuk bila
diperlukan, alias tidak wajib.
Dalam perjalanan UU KIP di Kaltara
kebanyakan hak mendapatkan informasi dilakukan hanya oleh LSM dan Ormas ,
Itupun dalam mentranformasikan ke masyarakat sangat lemah, sehingga
tidak terlihat animo masyarakat akan hak mendapatkan informasi publik.
Umumnya sengketa informasi di Kaltara lebih banyak kepada permasalahan
hutan, lahan dan pertambangan, hal ini seperti yang disampaikan dalam
Workshop Mendukung Keterbukaan Informasi Sektor Tata Kelola Hutan dan
Lahan di Kalimantan Utara yang diselenggarakan oleh PLH Kaltara bersama
Komisi Informasi Kaltara beberapa waktu yang lalu. Tujuan kegiatan
tersebut untuk mendukung keterbukaan informasi sektor tata kelola hutan
dan lahan di Kalimantan Utara Serta melaksanakan Konsolidasi dan
koordinasi badan publik.
Komisi Informasi dan Kelompok Masyarakat
Sipil siap mendorong transparansi badan publik di Kalimantan Utara dan
juga mendorong replikasi praktek-praktek baik dalam membangun
keterbukaan badan publik di Kalimantan Utara.
Beberapa Ormas dan LSM
Penggiat Keterbukaan Informasi seperti LALING Kaltara, PLH Kaltara,
JATAM Kaltara dan lain-lain sedikit banyak membantu masyarakat dalam
memperoleh informasi publik sesuai ketentuan Undang-undang No. 14 Tahun
2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Selain itu, Komisi
Informasi Kaltara juga terus mensosialisasikan terkait transparansi Dana
Desa yang merupakan program unggulan pemerintah saat ini. Dalam Rapat
Koordinasi Program Pembangunan Dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Provinsi
Kalimantan Utara, dilaksanakan di Hotel Tarakan Plaza 15-18 Oktober
2018 yang dibuka oleh Gubernur Kalimantan Utara, Komisi Informasi
Kalimantan Utara mendorong transparansi pemanfaatan Dana Desa sebagai
wujud asas Transparansi, Akuntabilitas, Dan Partisipasi masyarakat.
Termasuk saat ini sedang dirumuskan pula PERKI No.1 Tahun 2018 tentang
Keterbukaan Informasi Desa.
Alokasi dana desa yang dikucurkan
Pemerintah Pusat maupun dari APBD harus diumumkan secara transparan pada
publik, khususnya warga desa setempat. Hal tersebut untuk menghindari
terjadinya penyelewengan dana, kecurigaan publik, dan supaya pembangunan
di desa dapat berlangsung secara kondusif.
Transparansi pengelolaan
keuangan Dana Desa wajib dilakukan guna memastikan bahwa desa dapat
dapat memenuhi prinsip akuntabilitas. Secara lebih spesifik, informasi
publik diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Desa menjadi salah satu institusi
publik yang turut menjadi aktor dalam UU KIP tersebut.
Kondisi
Komisi Informasi Kaltara yang dilantik sejak Tanggal 16 Agustus 2018
belum dapat menjalankan roda kesekretariatannya dengan maksimal.
Struktur Kepala Sekretariat dan Kepala urusan juga belum terbentuk,
sementara kegiatan sosialisasi keterbukaan informasi harus tetap
berjalan dan permohonan penyelesaian sengketa informasi sudah ada yang
masuk dan teregistrasi.
Dalam hal Penyelesaian Sengkete Informasi
tersebut, berdasarkan UU KIP Pasal 37 ayat (2) Proses penyelesaian
sengketa paling lambat dapat diselesaikan dalam waktu 100 (seatus) hari
kerja sejak masuknya pengajuan sengketa.
Paling tidak ada tiga
hal kenapa Keterbukaan Informasi Publik ini masih lemah: Pertama,
kebanyakan badan publik belum maksimal dalam mengimplementasikan UU KIP
dengan tidak mempublikasikan informasi kepada publik.
Kedua,
lemahnya dorongan pemohon informasi untuk mendapatkan informasi publik
dari apapun yang diselenggarakan melalui dana APBN/APBD. Ketiga,
perlunya perhatian khusus pemerintah untuk memberikan dukungan
administratif, keuangan dan tata kelola Komisi Informasi dalam hal
kesekretariatan dan kegiatan sosialisasi keterbukaan informasi publik.
Untuk itu, saatnya peranan lembaga independen seperti media, LSM dan
Ormas (NGO) untuk mendorong hal tersebut agar kelak terciptanya
transparansi dan akuntabilitas yang kuat.
Keterbukaan informasi
publik akan menciptakan kekuatan baru yang lebih mendasar yaitu
masyarakat sebagai controling dalam penyelenggaraan dana APBD/APBN yang
kelak diharapkan memperkecil penyelewengan dalam penggunaannya.
Dengan demikian akan terwujud penyelenggaraan pemerintahan yang baik
(Good Governance) menuju Provinsi Kaltara yang terdepan. (roy)
0 comments:
Post a Comment